Minggu, 20 September 2020

Tentang Hujan, Harapan dan Cinta

Di luar sedang hujan. Hujannya tidak mengenal physical distancing. Turunnya tidak mengenal antrian, berebutan, saling sikut.

Beberapa saat lagi akan ada genangan yang merambat pelan menjalari trotoar, beton dan tembok-tembok rumah. Disusul teriakan penduduk, banjir !

Ironi pembangunan (?)

Kota ini masih muda, sayang jalannya terseok, bertumpu dua tangan sebagai penopang. Sedang kita berpangku tangan tanpa merasa berdosa.

Hujan semestinya menjadi rahmat semesta. Bahkan sering dijadikan analogi keintiman bumi dan langit dalam pembahasan kosmologi perempuan. Ia jatuh membasahi rahim bumi, lalu menumbuhkan segala.

Di beberapa kota kini ia berubah jadi kutukan. Boro-boro merapal doa tentang harapan, cinta dan cita. Kita sibuk mengeluh dalam resah ancaman banjir yang segera datang.

Mereka yang bermukim di kota, tentu sesekali merasakan sesak. Menaruh harap penanggulangan banjir pada mereka yang menjabat, sesak memikirkan kemungkinan untuk berkampung halaman yang bebas banjir.

Harapan hanyalah harapan. Pikiran hanyalah pikiran. Ia membutuhkan aktualisasi yang tidak segampang-mudah. Menggantung harapan itu, merawat pikiran itu, barangkali pilihan terbaik saat ini.

Jika ingin lebih jauh, introspeksi diri adalah jalur alternatif. Serupa aktualisasi harapan yang tidak mudah, jalur alternatif ini membutuhkan pula kelapangan diri untuk berserah dan berterima.

Semua akhirnya berpulang pada tiap-tiap kita. Soal harapan, cinta dalam doa. Itu saja.
Share:

Sabtu, 19 September 2020

Tentang Kisah, Gelap nan Gemerlap

Saya membaca dengan seksama secarik surat milik seorang musisi asal Pulau Dewata. Dengan kertas seadanya, ia mengakhiri goresannya tertanda dari balik jeruji. Dengan penuh kesungguhan, ia berterimakasih pada “ketersesatan”.

Tulisan itu, meski mengarah tajam ke jantung kedua penulisnya – istrinya, maknanya berhamburan sampai pada kita semua. Serupa percikan darah segar jantung yang berserahkan. Titisan darah simpatik dan berlumuran cinta.

Bagi saya, carik kertas romantis itu datang tepat waktu. Ia kembali mengingatkan saya, bahwa setiap kita memiliki beban hidup yang cukup rumit untuk masing-masing ukuran kita. Pembedanya adalah kualitas personal diri.

“Ketersesatan yang direstui semesta bisa menjelma menjadi anugerah…, Langit manusia menghujani kita dengan jarum-jarum peradaban…”

“… Atas nama gelap dan gemerlap kita sudah hampir tiba di gerbang Bahagia” -- Jerinx

*

Saya meragukan ikhlasnya doa yang terlantun untuknya. Tetapi jauh dari itu, saya benar-benar ikut berdoa dengan khusuh.

Dulu, dahulu, beberapa saat lalu;

Saya menemuinya bersimpah larah, berbalut wajah ceria. Serupa aksara yang bersemayam dalam sobekkan luka berbalut kain tipis bertopeng riang. Luluh dari harap yang tak bertepi.

Gadis ini, benar-benar diujung harapan.

Ia punya pesona berbeda, sesuatu yang selalu saya jawab “tanpa alasan” saat ditanya “kenapa harus saya?”. Sesuatu yang tidak pernah terungkap sampai saat ini. Sampai detik dimana tak ada kesempatan yang tersisa.

Ia seorang yang memiliki aura berbeda, sesuatu yang membuatnya menjadi sosok yang tidak layak untuk disia-siakan. Sesuatu yang saya sebut yunik – menggunakan huruf Y.

Ia membuat saya mampu “melihat hutan tanpa kehilangan perhatian pada pohon”. Pada beberapa bagian, membuat saya bisa memerhatikan banyak hal dalam satuwaktu, tetapi, pada waktu yang hampir bersamaan, ia memaksa saya untuk fokus padanya.

Sungguh, ada begitu banyak hal yang gagal tersampai pada waktunya.

Bukan hanya sesuatu yang tidak pernah terjawab, saya juga menyesalkan banyak hal yang tidak tersampaikan itu. Waktu terlalu banyak mengambil peran di antara kami.

Sampai pada akhirnya, saya harus menyampaikan semuanya lewat doa.

Harapan kecilnya kini menghampiri gerbang bahagia, setelah gelap dan gemerlap.

Soal semua hal yang akhirnya tidak tersampai itu, ku biarkan tetap tersemai sebagai tanaman kenangan. Akan kupastikan ia tumbuh bersama ingatan yang setiap saat disiram dengan air harapan. Menjaganya agar tetap tumbuh dalam berbagai wujudnya.

Saya seperti melihat diri sendiri padanya. Bisa jadi, semua kita akan melakukan hal yang sama saat menghadapi situasi serupa. Berharap banyak pada mereka yang terlanjur diberi hati. Seperti juga saya.

Jauh dalam talung hubungan yang begitu lama terawat dengan air mata, berikut kemistri yang terselip di dalamnya, kita semua akan selalu berharap kembali terajut-terikat. Seberapapun pedihnya kisah itu. Setidaknya, secara psikologis, ilmu pengetahuan membenarkan hal itu.

Itu sebabnya, sejak awal saya merasa bisa menebak akhir dari kisah -singkat- ini. Itu mengapa pula saya tidak terlalu mau membuang banyak waktu. Semoga kalimat ini bisa menjawab banyak pertanyaan.

Kini, dan semestinya, tidak lagi ada pertanyaan tersisa. Lumpuhkan ingatan tentang kisah tak bertuan ini. Rajut kembali kisah klasik yang menggugah itu. Sudah seharusnya orang sepertinya bermula dan berakhir bahagia. Jika bisa, tanpa gelap dan gemerlap.  

Share:

Sabtu, 29 Agustus 2020

Menyoal Gus Ulil; Sebuah Tulisan dan Minat Baca


Saya membaca beberapa tulisan dialektis bertemakan Sains, Agama, dan Filsafat antara Goenawan Muhamad, Ulil Absar Abdallah, A.S. Laksana, dkk.  Banyak pemikir, Penulis juga tentu pendapat. Hubungan tulisan-tulisan ini sedikit memberi warna cemerlang pada platform facebook belakangan ini.

Sebuah tulisan menarik tetiba muncul dalam perdebatan. Ialah goresan Gus Ulil.

Sedikit keluar dari tema pembahasan, Ia menyoal tentang tentang -kemampuan menulis para akademisi kita. Keluhan saya pada dunia akademis sekarang, banyak sarjana kita yang tidak bisa menulis dengan bahasa akademis yang tetap indah dan memikat”.

Menurutnya, harus ada usaha dari para dosen untuk mengingatkan para mahasiswa soal bahasa. Tentang pentingnya menulis dengan bahasa yg tertib dan memikat.

Satu sisi keresan Gus Ulil serupa momok bagi kita yang ingin belajar menulis. Urusan mengemas tulisan menjadi menarik adalah beban psikologis yang menyerang beruntun dan berbobot berat. Hantu yang mengintai dan mengusik kekhusyuan kontemplasi.

Sisi yang lain, kita bisa memaknainya sebagai muhasabah diri untuk berbenah.

Minat Baca vs Daya Baca

Fakta bahwa masyarakat kita memiliki minat baca yang tergolong rendah, sedikit-banyak ikut memengaruhi cara kita dalam memaksimalkan keindahan diksi tulisan. Lumbung kata-kata yang digunakan berasal dari luasnya ladang bacaan.

Ibarat sebuah aktifitas ngopi dan rokok, membaca adalah biji kopi dan tembakau itu sendiri. Ia ruh material. Menjadi pusat yang tidak bisa dihindari oleh seorang penulis, kata Stephen King.

Meski belum ada data terbaru yang merilis tentang tingkat minat baca masyarakat Indonesia, tetapi penelitian terakhir Central Connecticut State University (CCSU) bertema World's Most Literate Nations pada Maret 2016 lalu, merilis hasil yang mengecewakan. Indonesia berada pada peringkat 62 dari 70 negara yang menjadi sampel.

Kita boleh berbeda pendapat soal metode, sampling respondent, dan margin error riset CCSU, tetapi kesimpulan survei tersebut sedikit membuka mata para pemerhati literasi, bahwa ada pekerjaan rumah yang sedikit rumit untuk segera diselesaikan.

Cerita ini menjadi penting untuk dibahas. Sebab sepiawai apapun seseorang dalam memilih kata untuk memperindah tulisan, takkan berarti apa-apa jika menghadapi pembaca yang memiliki minat baca rendah.

Kita bisa mendalih, bahwa minat baca masyarakat kita kian hari kian tumbuh, sayangnya kita kembali diperhadapkan masalah lain, soal ketahanan membaca – daya baca. Daya untuk terus membaca sebuah tulisan sampai tuntas.

Persoalan ini lebih rumit jika dibanding dengan masalah minat baca. Ia serupa penyakit yang mengerogoti dari dalam, lebih kompleks dan memerlukan pengujian dan riset tingkat lanjut.

Anis Baswedan dalam sebuah orasi ilmuahnya pernah memaparkan panjang lebar soal daya baca vs minat baca ini. Kita punya bejibun masalah yang harus diselesaikan, dan sampai di sini, saya sepakat dengan pendangan Gus Ulil, embrio masalah ini harus dibedah lalu dicincang mulai dari sekolah/kampus.

Sebuah Tulisan

Saya teringat quotes Pramoedya dalam bukunya, “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah”. Buku-bukunya adalah buah dari kalimat ini. Tulisan-tulisan fenomenalnya bertahan dalam ingatan sebagai lembar-lembar sejarah bagi generasi kita.

Kekuatan tulisan Pram terus relevan pada banyak situasi bangsa hari ini. Kita merindukan kehadiran sosok sekaliber beliau untuk mengisi dunia literasi bangsa yang kian merosot.

*

Di tengah kesibukan menyelesaikan tulisan ini, perhatian saya tertuju pada sekelompok gamers yang sedang me-lanskap-kan gadgetnya di pojok warung kopi.

Saya berfikir, seandainya tulisan-tulisan dalam laman qureta.com dibaca habis oleh mereka, mungkin tak akan ada keriuhan berisi umpatan pada teman samping kiri-kanannya; bocah, tolol, newcomers.

Goenawan Muhamad, Ulil Absar Abdallah, A.S. Laksana, mungkin selalu memiliki catatan pinggir pada web/laman pribadinya masing-masing. Tapi sejauh apa tulisan-tulisan itu menarik minat pembaca cluster gamers di pojok warkop, atau bahkan ibu-ibu rumah tangga yang gemar menggosip di sepanjang jalan menuju medan arisan.

Tulisan dialektis Goenawan dkk, bisajadi hanya menarik bagi kalangan pembaca tertentu. Yaitu mereka yang sedang haus-hausnya belajar filsafat, dan permbahasan panjang tentang agama vs sains.

“Sekolah tinggi” yang dimaksud Pram pada quotes di atas harusnya dimaknai luas. Serupa ulasan Gus Ulil pada tulisan berjudul “Berani Memasak Gagasan Sendiri”.

Bagaimana para penulis handal dapat mengemas tulisan berat bertema filsafat, sains, atau agama dalam bahasa yang sederhana tapi tetap indah dan menarik. Seperti Pram yang mendeskripsi sejarah dalam sebuah novel.

Bermodal sekolah tinggi lalu mengolah gagasan-gagasan rumit untuk disajikan sesederhana mungkin agar bisa dinikmati oleh banyak kalanganan dan kalangan manapun.

Memang, pandangan Gus Ulil tentang “memasak gagasan sendiri” menyoal kebiasaan kita yang cenderung lebih sering mengutip pendangan filsuf barat ketimbang filsuf timur atau pandangan-pandangan tokoh nasional. Persoalan ini juga menjadi catatan baru yang butuh ulasan lain.

Tidak banyak penulis seperti Pram. Kita seolah tidak pernah ragu membahas karyanya pada kalangan manapun. Hampir setiap kawan bicara kita memberi feedback ketika menyebut Arus Balik, di bumi manusia Indonesia.

Atau seperti penulis Filsafat bergendre novel Jostein Gaarder. Pada buku-bukunya, kita bebas berfilsafat dimana, kapan dan pada siapa saja.

*

Menemukan gaya tulisan untuk mengakomodir pembaca dari kalangan manapun, tidak hanya membutuhkan keindahan bahasa dan kata. Jauh dari itu, ia membutuhkan ramuan “rempah dan bumbu” yang khas dan identik dengan suasana kebatinan masyarakat pembaca. Mungkinkah?

Minat baca dan tulisan baik, seperti lingkaran yang saling mendahului. Membaca untuk bisa menulis dengan baik atau menulis dengan baik agar bisa menarik minat baca. Mana yang mendahului yang mana?

Share:

Jumat, 05 Juni 2020

The Broker, Negara dan Konspirasi


Buku ini berjudul asli The Broker, karya cemerlang novelis John Grisham. Diterbitkan kembali oleh Gramedia Pustaka Utama (2007) dengan versi terjemahan berjudul Sang Broker. Seperti kebiasaan Grisham, buku ini bergendre novel, dengan tebal buku 440 halaman.

Grisham memang dikenal luas sebagai penulis novel, biasanya berlatar hukum. Buku-bukunya seperti oase bagi insan hukum yang lingu-kelimpungan di tengah bahasa hukum yang cukup berat. Lex dura sed tamen scripta; hukum itu keras dan begitulah bunyinya atau keadaannya, demi kepastian dan penegakannya.

Meskipun begitu, Grisham tidak sama sekali mengubah teori atau asas hukum baku seenak hati. Ia tetap menjaga kemurnian bahasa hukum, tetap pada asas kepastian (teori-teori) hukum.

Pada buku Sang Broker ini, Grisham kembali mengulik persoalan hukum. Tepatnya konsep hukum dan hubungan internasional. Prinsip-prinsip itu dijelaskan secara berserakan dalam beberapa sekuel cerita buku ini.

Negara dan Konspirasi

Meski analisisnya lebih kepada aktifitas intelijen, tetapi sedikit banyak memberikan gambaran tentang konsep berhukum dan hubungan negara-negara adikuasi dan segala konspirasinya dalam memperlakukan negara berkembang atau negara dunia ketiga.

Analisis peta geopolitik global yang dipadu dengan sentilan-sentilan kecil tentang hukum.

Tokoh utama dalam buku ini dijuluki “the broker”. Nama aslinya Joel Backman, dengan banyak nama samaran dalam pelariannya sebagai buronan beberapa negara besar. Marco lazzeri (Itali), Simon Wilson McAvoy (Australia), Ian Rex Hatterboro (Kanada), Giovanni Vero (Bologna), dan Mayor Herzog (Agen Itali untuk Kanada).

Backman bukan agen intelijen atau seorang ahli penyamaran. Dia hanya seorang pengacara yang berkantor di Washinton D.C. Ia jelas bukan pengacara kacangan.

Oval Office dan Pentagon seperti warung kopi baginya. Presiden Amerika adalah teman ngopi sekaligus rekanan dalam beberapa bisnis. Backman jugalah yang mendanai kampanye Mr. Presiden.

Joel Backman diburu karena ulahnya melakukan kejahatan yang berkaitan dengan rahasia negara. Israel, Rusia, China, Arab Saudi, dan Amerika, siap menggolontarkan uang banyak demi operasi pembunuhan Sang Broker.

Ia harus melakukan pelarian di beberapa negara setelah mendekam dalam penjara selama 6 tahun. Sejak awal, ia memilih penjara, itu bukan skenario buruk. Baginya, tak ada tempat paling aman di dunia saat menjadi buronan negara-negara besar selain ruang penjara federasi Amerika.

Atas “pengakuan” kejahatan lain, ia dituntut oleh Jaksa dan dinyatakan bersalah oleh Juri pada pengadilan Amerika dengan vonis 14 tahun penjara. Mendapat pembebasan tanpa syarat saat setengah masa hukuman sudah dijalani, menjadi suatu yang menghawatirkan baginya, dan tentu menjadi headline koran-koran besar Amerika.

Untuk seorang berpengaruh seperti Backman, menjadi headline dalam pemberitaan koran The New York Times dapat membuat negara ini macet, lalu dengan cepat menenggelamkan isu apapun. Bahkan skandal yang baru bersemai sekalipun. Kasus Backman memang disiapkan untuk itu, menyembunyikan banyak cerita miring yang harus disingkirkan oleh negara.

Tampaknya, equality before the law tidak sepenuhnya berlaku di sini. Demi kepentingan negara atau kekuasaan, hukum bisa dibuat menjadi tameng. Betapa sederhana konspirasi yang bisa direncanakan oleh negara untuk meloloskan kepentingan para elitnya.

Pembebasan Sang Broker dari penjara, tidak lain adalah usaha negara untuk mengurai benang merah kejahatannya terkait dengan rahasia negara.

Peta Kekuasa Negara

Petaka Backman dimulai saat Ia mengetahui China mengorbitkan satelit canggih yang bisa mengalahkan peralatan hebat negara manapun. Satelit ini diberi nama Neptunus. Hanya Backman yang mengetahui, bahkan negaranya pun tidak tahu pemilik asli Neptunus.

China menyadari kelemahannya pada kelengkapan peralatan senjata konvensional dibanding Amerika atau negara-negara lain. Karenanya, mereka mengupayakan jalur teknologi rahasia berbasis satelit pengintai super canggih.

Neptunus memiliki kemampuan memotret gambar sampai pada ketinggian 12 Mdpl, mendengar percakapan dua tentara di camp-camp perbatasan, mengintip gudang penyimpanan amunisi, atau bahkan merekam adegan saat Presiden negara mana saja bercinta dengan gadis yang diseludupkan di ruang kerjanya.

Neptunus pertama kali ditemukan tanpa sengaja oleh tiga mahasiswa Afganistan yang iseng melakukan hack pada satelit-satelit milik Amerika yang mengitari langit India. Mereka menemukan salah satu satelit yang sedikit berbeda dari kawanannya. Mengutak-atik lalu memanipulasi dan membuat sistemnya hanya bisa dioperasikan oleh mereka.

Neptunus ternyata tidak hanya digunakan China untuk mengintai aktifitas Amerika, tetapi juga untuk hampir setiap belahan bumi. Dengan kecanggihannya yang nyaris sempurna, hanya butuh satu Neptunus untuk melakukan tugas-tugas senyap itu. 

Tiga mahasiswa ini berniat menjual hasil temuannya pada pihak Amerika, sekaligus meminta perlindungan. Naas, setelah bertemu dengan Backman untuk menyerahkan kepingan chip monitor Neptunus, mereka ditemukan tewas di tempat berbeda-beda. Kini “objek buruan” berpindah pada Backman.

Alasan inilah yang membuatnya berfikir untuk memilih penjara. Diluar skenario, ia dibebaskan di waktu yang tidak tepat. Ia harus berpindah negara dengan senyap, namun mustahil melakukan itu tanpa batuan. Negaranya lah yang menyediakan setiap kebutuhan yang diperlukan Backman dalam upaya pelarian.

Ia tentu berterimakasih, tapi satu hal yang tidak diketahui oleh Backman, negaranya melakukan itu bukan tanpa alasan. Pihak Amerika yang dipimpin oleh Presiden baru, menjadikannya tikus umpan. Amerika memonitoring negara mana saja yang memburu tikus umpan ini. Dengan begitu, mereka akan mengetahui pemilik Neptunus.

Diluar daripada itu, hukum Amerika memang mengharamkan membunuh warganya di atas tanah teritorinya sendiri.

_________
Grisham kembali menghadirkan kemungkinan.

Satelit dengan segala kecanggihanya ternyata dapat diretas oleh sekelompok mahasiswa yang ‘iseng’. Juga pada keadaan dimana, negara dengan kondisi yang sederhana bisa menjadikan kita korban dari kepentingannya. Kita hanya seekor tikus tak berdaya yang bisa digunakan oleh negara dengan segala relasi kuasanya.

Dari sini ia kemudian mengulas relasi kuasa antar negara. Meski bukunya bergendre novel yang tentu tidak bisa menjadi rujukan ilmiah, tetapi ulasannya memberikan gambaran yang relevan dengan kondisi dan hubungan negara-negara besar sampai saat ini.

_________
Tercatat: daftar negara besar yang terlibat dalam upaya pembunuhan Backman yaitu, Arab Saudi, Israel, Rusia, China, dan juga tentu Amerika.

Negara asalnya berencana membunuhnya di detik-detik awal ketika telah mengetahui pemilik Neptunus.

Arab Saudi digambarkan memiliki hubungan yang baik dengan Amerika. Ini terlihat dalam damainya komunikasi intelijen pihak Amerika dan Saudi dalam upaya pembunuhan Backman. Meski secara bargaining, Saudi tidak merasa terancam, selain bahwa data pengoperasian satelit Neptunus yang ada di tangan Backman digunakan China untuk mengintai aktifitas politik Saudi.

Saudi biasa menyewa agen lepas, ini kebiasaannya. Mereka cenderung tidak ingin mengotori tangan secara langsung dalam aktifitas pembunuhan yang melibatkan agen intelijen.

Israel mengincar Neptunus dan rela mengeluarkan uang sebanyak yang dibutuhkan hanya agar satelit super canggih itu bisa dioperasikan. Tentu demi mengintai semua gerak politik  musuh negaranya.

Israel membutuhkan waktu biasanya seminggu, caranya kadang brutal dan sadis, penuh drama barang bukti, tetapi tidak pernah mampu dipecahkan oleh pihak keamanan negara di mana operasi berjalan. Agennya terlatih dalam upaya membersihkan diri.

Satu hal, Israel selalu melakukan kontak rahasia dengan agen intelijen Amerika. Mereka digambarkan sedikit mesrah dalam beberapa sekuel cerita buku ini.

Rusia sebaliknya, mereka menghawatirkan pengoperasian satelit super canggih itu dikuasai oleh CIA, yang tentu menjadi ancaman nyata bagi negaranya. Rusia membutuhkan waktu satu minggu dengan agen paling terlatih dan tidak meninggalkan satu jejakpun. Ini yang membedakannya dengan cara Israel.

China biasa lebih lambat, mereka negara yang cukup berhati-hati dan penuh perhitungan dalam melakukan operasi-operasi intelijen dalam dan luar negeri. Ciri ini melekat pada negara Tirai Bambu dalam segala hal, kecuali wabah mematikan yang baru-baru saja terjadi. #Covid19.

Satu hal, semua negara tersebut membenarkan secara hukum segala operasi intelijen pembunuhan satu manusia, atas nama dan kepentingan negara.

_________
Grisham setidaknya memberikan prediksi menarik perihal perang dingin antara Amerika dan China yang selalu terjadi belakangan ini, Koalisi beberapa negara seperti keakraban Amerika-Saudi, juga Amerika-Israel, dan kekokohan Rusia yang berdiri sendiri.

Meski penulisnya pada lembar terakhir menjelaskan backgroundnya sebagai seorang novelis hukum, bukan ahli satelit atau spionase, buku ini bisa menjadi acuan subjektif tentang hubungan negara-negara yang disebutkannya.

Membaca buku ini, saya teringat ulasan salah seorang tokoh politik negeri yang memberikan gambaran perang masa depan dari sebuah buku berjudul Ghost Fleet karya P. W. Singer dan August Cole.

_________
Joel Backman akhirnya mampu bertahan hidup dan kembali ke negara asalnya tanpa cacat sedikitpun. Ia terlatih dan terbiasa menyesuaikan diri pada aktifitas intelijen.

Judul Buku  : The Broker (Sang Broker)
Penulis        : John Grisham
Penerbit      : PT. Gramedia Pustaka Utama, 2007
Tebal Buku : 440 Halaman

Share:

Selasa, 02 Juni 2020

Masikah Kita Berbhinneka?


1 Juni 2020, Hari Kesaktian Pancasila.

Berbhinneka; dalam tafsir Mitdasein – Hadir bersama dalam keadaan bermakna. Ich bin mit meinem dasein zufrieden. Ungkapan itu milik Filsuf kontemporer, Martin Haidegger. Anak Jerman, zaman old, medio 1970 an.

*
Sidang BPUPKI untuk merumuskan Dasar Negara, dibuka tanggal 28 Mei 1945. Mulai rapat tanggal 29 Mei. Diskusi berlangsung alot, banyak tokoh, banyak pendapat. Hingga berakhir tanggal 1 Juni 1945, saat Hokage Pertama Lord Soekarno memaparkan gagasannya.

Gagasan Soekarno tentang Pancasila disampaikan secara langsung di hadapan sidang tanggal 1 Juni 1945 tanpa teks. Konsepnya ada di kepala. Masih alot. Makna idenya tersampaikan, tapi konteksnya masih diperdebatkan. Teknis, soal redaksi.

Diskusi panjang berlanjut sampai tanggal 22 Juni 1945. Anggota BPUPKI, dan beberapa ulama bangsa, akhirnya sepakat dengan konsep Pancasila milik Soekarno dengan redaksi sila Pertama: “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Inilah yang disebut Piagam Jakarta sebagai Konsensus Nasional Pendiri Bangsa.

BPUPKI kemudian membentuk tim kecil untuk kembali merumuskan Undang-Undang Dasar yang berpedoman pada isi pidato Soekarno. Tim berisi sembilan orang; Soekarno, Muhammad Hatta, AA Maramis, Abikusno Tjokrosoejoso, Abdulkahar Muzakir, Agus Salim, Ahmad Soebardjo, Wahid Hasyim, dan Muhammad Yamin.

18 Agustus 1945 PPKI akhirnya menetapkan dan menyatakan sah bahwa Pancasila sebagai Dasar Negara dengan “perampingan” redaksi di sila pertama (Hamka Haq, Pancasila 1 Juni dan Syariat Islam – 2011)

Jadilah kita Negara Berketuhanan, Berkemanusiaan, Berhukum, berbudaya, Beretika, dan Berkeadilan.

Lantas, masihkah kita Berbhinneka secara asali dan spontan? Apakah kita masih memiliki aliran cakra murni dari Hokage Pertama; Lord Soekarno, tentang Pancasila?

*
Manusia itu membangun hubungan formasi “bersama” secara spontan, sifat itu bawaan lahir. Ayyatullah M. T. Taqim Misbah kemudian memaknainya sebagai sifat kodrat, lahiriah adanya, Jagad Diri istilahnya.

Aristoteles punya istilah lain, Zon Politicon. Makhluk yang selalu ingin bergaul dan berkomunal. Tapi di sisi lain, punya jiwa individualistik. Ini juga sifat lahiriah, bawaan alam bawah sadar. Hingga muncul istilah lain, perpaduan keduanya, paham yang disebut sebagai Monodualistik. Manusia individu sekaligus manusia sosial. Kita manusia memang unik sejak awal.

Hubungan formasi ini familiar kita temukan dalam prinsip fenomenologi ala Husserlian; Itensi, Empati dan Asosiasi. atau setidak tidaknya dalam konsep Teologi Negatif Ibn ‘Arabi.

Dalam konsep definisi, Asosiasi adalah bentuk asali dari sosialitas yang merupakan sifat dan hasrat manusia. Seperti Zon Politicon yang dimaksud Aristoteles, atau Jagad Diri ala Taqim Misbah tadi.

Dengan berasosiasi, manusia mencoba membangun hubungan intersubjektif untuk memaknai fenomena. Maksudnya, ada beberapa kejadian di dunia ini, yang memang kadang hanya bisa dimaknai secara menyeluruh saat kita bersama dengan orang lain.

Immanuel Kant bilang “Memaknai fenomena dengan mendobrak ‘nomena’ (hal yang tidak tampak di balik fenomena)”.

Dalam fase awal ini, hubungan manusia murni, dan tidak terkontaminasi oleh faktor apapun (naluri-hati). Ibaratnya “kita menemukan makna dalam hubungan”. Seperti tidak ada alasan mengapa kita harus bersama, pokoknya kita harus bersama, titik.

Ini mungkin seperti bucin yang saat ditanya “mengapa kau menyayangiku?” Jawabannya “tidak ada alasan untuk itu”. Itu artinya dia menemukan makna dalam hubungan.

Setelah hubungan-hubungan murni itu terbentuk, sifat lahiriah manusia lainnya terpancing untuk keluar. Seperti cakra tersembunyi dalam relung hati manusia-manusia. Ialah hasrat untuk memiliki, tidak ingin kehilangan, hingga berubah menjadi defence-ofensif. Bertahan melindungi dan dalam waktu yang hampir bersamaan ingin menyerang.

Masing-masing kelompok manusia melakukan itu, saling merasa berhak untuk melakukan sesuatu. Hingga akhirnya melahirkan kegaduhan, ketidakteraturan. Hukum rimba terpicu, siapa yang kuat, dia yang menjadi penguasanya.

Munculah keinginan untuk membentuk suatu wadah yang bisa menengahi persoalan. Sebab sifat lahiriah yang lain kembali muncul; rasa ingin damai. Sampai di sini, manusia memang terlihat seperti makhluk sempurna yang paradoks.

Wadah atau lembaga yang berangkat dari kesepakatan para komunal-komunal ini dibekali kekuasaan untuk mengatur. Secara filosofis, lembaga atau institusi lahir dari proses panjang ini. Termasuk Negara.

Sejatinya Negara hadir untuk melayani warga negaranya, menengahi dan membuat hidup damai, teratur, sejahtera, dan sentosa, para komunal-komunal bebal. Negara awalnya hanya wadah, penduduknyalah yang memberi kedaulatan untuk berkuasa.

Efek dari lahirnya lembaga, membawa pranata, norma, kaidah yang kemudian hadir membentuk partisi dalam asosiasi tadi. Semua standar interaksi dan kehidupan didefinisikan oleh lembaga/institusi/negara. Dalam pemaknaan, nilai fenomena kemudian tereduksi dari nilai yang sengaja dicipta dalam subjektifitas pemilik pranata.

Jadi orang-orang dalam lembaga yang diberi amanah, melahirkan tafsir-tafsir subjektif agar bisa mengatur setiap manusia. Siapa yang berkuasa, ialah yang akan memberikan penggambaran atas tafsir suatu fenomena.

Akibatnya asosiasi murni berubah menjadi Sosialitas fiksionil yang tidak lagi asali, inilah wujud kesejatian lembaga, yang kita biasa menyebutnya dengan istilah Institusi.

Posisi institusi kemudian mengambail alih secarah menyeluruh, segala pranata, norma dan nilai, dikonsepsi sesuai dengan jalan falsafah Institusi. Benar dan salah tidak lagi menjadi soal, yang terpenting bahwa; bagaimana segala norma dan pranata bisa menjaga kekokohan Institusi.

Tetapi sisi lainnya, karena orang-orang dalam istitusi merasa telah berkuasa, ia melupakan amanat yang diberikan oleh masyarakat atau komunal-komunal. Ini juga sifat lahiriah manusia, homo homini lupus. Arogansi tumbuh subur atas nama institusi.

Dalam kondisi ini, akan lahir kosekuensi bahwa “Segala tafsir fenomena yang tidak sejalan/mendukung Institusi, akan disingkirkan dalam sekejap”.

Jika kita mengaitkan makna Pancasila dalam tafsir yang berceceran, kira-kira dapat digambarkan seperti ini; “Selama itu tidak bertentangan dengan hasrat orang-orang yang berkuasa dalam sebuah institusi, maka pemaknaan itu bisa diterima”.

Itu mengapa banyak para intelektual negara mengatakan, makna Pancasila tidak boleh dibahas lagi, mengapa? Agar tidak ada tafsir yang mengambang dan membuat gaduh. Sampai di sini, saya juga tidak sepakat menyepadankan Pancasila dengan Istilah Ideologi. Karena ideologi tidak mengenal kata final, sedang Pancasila harus berhenti diperdebatkan.

Secara sederhana saya ingin mengatakan bahwa, makna Bhinneka hari ini adalah hasil konstruksi Institusi yang tidak lagi asali. Ia telah ditafsir oleh oknum dalam Institusi. Hal ini diupayakan tidak lain untuk keragaman pahaman dan pemaknaan kita terhadap Berbhinneka.

Terakhir bahwa; cerita tentang bulan, bukanlah bulan itu sendiri, bisa jadi, tafsir tentang kebhinnekaan bukanlah kebhinnekaan itu sendiri. Tafsir harus hadir bersama dalam pemaknaannya, tafsir Mitdasein.

_____
“Kita punya ciri khas, kita adalah kita, kita memiliki prinsip bernegara yang konsisten”
~ Bung Hatta


Share: